*****************************************
Sedekat apa hubungan kalian dengan embah?
-
Sosok embah dihidupku hampir lebih utama dibanding orang tua. Orang tuaku jauh. Sesekali saja mereka menjenguk. Sedih? Pasti. Tapi orang tuaku lebih tahu apa yang harus dilakukannya. Semua demi kebaikan anak-anaknya. Aku bersyukur. Embah tak hanya seorang nenek, tapi seorang ibu. Tidurku tak lepas dari dongeng legendarisnya. Do'anya membaluriku setiap saat. Ia senang menunjukkan kedermawanannya dihadapanku. Aku tahu itu sebuah nasehat yang tersirat. Nasehat untuk tidak menjadi kikir. Nasehat untuk terus berbagi apapun keadaannya. Ketika menerima tamu, embah mengajariku menyuguhkan secangkir teh dengan benar. Mencium tangan orang yang lebih tua, memandang wajah ketika diajak bicara. Aku tahu, kesopan santunan sedang diterapkan padaku. Etika dan akhlakku dibentuk dari kebiasaan kecil itu.
Embahku adalah Ilmu.
Hingga saat embah berpulang kepadaNya, aku begitu kehilangan. Malah bercampur penyesalan mendalam. Karena ada dua hal yang belum bisa aku hadiahkan semasa hidupnya. Lulus dan menikah. Tapi semakin lama aku sadar bahwa dua hal itu pelengkap kebahagiaannya saja. Bahagia karena melihat cucunya bahagia. Namun ada yang lebih bernilai dan berharga, yaitu ketika aku bisa membuang tinja, menyuapi, menyuguhkan minuman setiap pagi, menyiapkan makan, mengajak jalan-jalan, mengantarkan kemanapun, mengkhawatirkannya, apa lagi mengamalkan petuahnya dan hal lain yang membuatnya merasa beruntung. Beruntung karena banyak sekali orang tua diluaran sana yang tidak mendapat perlakuan selayaknya. Seharusnya diusia senja mereka sudah berhenti bekerja. Bekerja untuk materi maupun menggantikan tugas anak cucunya. Maka ironi sekali jika masih ada seorang renta membuat minuman dan makanannya sendiri. Disinilah seharusnya anak cucu merasa gagal berbakti. Sadarlah betapa egois diri kita, mengertilah betapa angkuhnya hati kita, pahamilah betapa orang tua kita hanya ingin disayangi. Mereka tidak meminta. Hanya berangan saja. Itupun jika diberi. Jika tidak, maka diam menjadi andalan. Duduk sendiri sambil menunggu saat tiba. Menerima apa yang menjadi suratan takdirnya.
Lalu, bagaimana dengan kita? Maukah menemani penantian singkatnya? Mengobrolkan sesuatu yang mampu menghilangkan kejenuhan disela kecemasannya?
Sebelum Tuhan merenggutnya, temani ia sepenuh hati. Mereka tak butuh apa-apa selain sentuhan keikhlasan. Karena setelah merek tiada, kata maaf hanya menjadi airmata.
# Anak kita akan mencontoh akhlak Ayah ibu mereka pada orang tua.
Komentar