SESAJI
==============================
Ditulisan kali ini, aku tidak ingin membahas makna filosofis sesajen dari pandangan culture jawa maupun mitologi ya, karena aku bukan ahlinya ahli, intinya intiπ.
Terlebih jika membahas hukum syari'atnya, hummmm pasti lain ceritaku.
Sekali lagi, ku tak sanggup!!!.
Jelas lah aku belum mampu membuat riset dan menjadikannya sebuah essay. Jadi cukup menceritakan eksperimen sederhana saja. π
.
Alhamdulillah aku hidup disebuah desa yang masih lekat dengan budaya kejawennya. Ritual sesaji juga sepertinya masih berlangsung sampai sekarang. Hanya tidak seintens dulu. Nah ini yang aku tunggu.
Sa jen.
Aku mengintai lewatnya seorang pria dari kaca ruang tamu. Ia bernama mbah Suprat penyunggi sesaji. Begitu terlihat semakin dekat, aku memasang posisi maraton bersama teman-teman sebayaku. Kami langsung menyerbu isi tampah milik lelaki paruh baya itu. Mbah Suprat menyambutnya dengan senyum lebar nan ramah, lalu menurunkan tampahnya sampai pinggang. Aroma mistis minyak duyungpun kerap menambah nuansa khas disela-sela penciuman kami. Pisang emas, ampyang, kopi, air kembang, nasi, jadi rebutan. Padahal jelas-jelas rasanya hambar. Benar-benar hambar. Konon mitosnya, bangsa astral telah mengembat saripati makanan-makanan itu. Makanan yang lama dibiarkan atau disimpan dalam kulkas masih mending berasa. Intinya sajen adalah jajanan tidak sedap yang digemari anak-anak bejiπ€¦π¬.
.
Beberapa puluh langkah dari rumahku, ada sebuah panembahan atau biasa disebut petilasan leluhur. Rumah sepetak itu sengaja dikhususkan untuk kesepuhan bernama Mbah Jenthi. Menurut informasi, mbah Jenthi adalah manusia sakti yang sangat berpengaruh dari sisi spiritual pada masa itu. Hilangannya pun tak diketahui hingga kini. Sampai akhirnya, dibuatlah rumah berukuran 2x3 m, kira-kira. Masyarakat meyakini mbah Jenthi akan kembali suatu hari nanti. Entah dalam keadaan berwujud atau tidak. Kami menduga sesajen yang dibawa mbah Suprat bersumber dari sana. Ruangan kecil yang terkunci. Memanglah bukan setiap hari, namun jawa banyak memiliki tanggal pasaran tertentu, makanya jangan heran jika mbah Suprat sering berseliweran dijalan rumahku dengan gundukan yang disungginya. Namun sudah tidak aku temui lagi pemandangan itu, semenjak majelis taklim dan PAI gencar didesaku. Disatu sisi aku bersyukur, disisi lain aku kehilangan. Kalaupun ada, sudah tidak lazim lagi. Sebenarnya aku berharap budaya itu tetap lestari. Namun jika tidak sejalan dengan akkidah dan perkembangan zaman maka biarlah aku membanggakan kenangan itu tanpa debat dan nasehat. π
.
.
#Rahayu
#INDAH_PUJI
==============================
Ditulisan kali ini, aku tidak ingin membahas makna filosofis sesajen dari pandangan culture jawa maupun mitologi ya, karena aku bukan ahlinya ahli, intinya intiπ.
Terlebih jika membahas hukum syari'atnya, hummmm pasti lain ceritaku.
Sekali lagi, ku tak sanggup!!!.
Jelas lah aku belum mampu membuat riset dan menjadikannya sebuah essay. Jadi cukup menceritakan eksperimen sederhana saja. π
.
Alhamdulillah aku hidup disebuah desa yang masih lekat dengan budaya kejawennya. Ritual sesaji juga sepertinya masih berlangsung sampai sekarang. Hanya tidak seintens dulu. Nah ini yang aku tunggu.
Sa jen.
Aku mengintai lewatnya seorang pria dari kaca ruang tamu. Ia bernama mbah Suprat penyunggi sesaji. Begitu terlihat semakin dekat, aku memasang posisi maraton bersama teman-teman sebayaku. Kami langsung menyerbu isi tampah milik lelaki paruh baya itu. Mbah Suprat menyambutnya dengan senyum lebar nan ramah, lalu menurunkan tampahnya sampai pinggang. Aroma mistis minyak duyungpun kerap menambah nuansa khas disela-sela penciuman kami. Pisang emas, ampyang, kopi, air kembang, nasi, jadi rebutan. Padahal jelas-jelas rasanya hambar. Benar-benar hambar. Konon mitosnya, bangsa astral telah mengembat saripati makanan-makanan itu. Makanan yang lama dibiarkan atau disimpan dalam kulkas masih mending berasa. Intinya sajen adalah jajanan tidak sedap yang digemari anak-anak bejiπ€¦π¬.
.
Beberapa puluh langkah dari rumahku, ada sebuah panembahan atau biasa disebut petilasan leluhur. Rumah sepetak itu sengaja dikhususkan untuk kesepuhan bernama Mbah Jenthi. Menurut informasi, mbah Jenthi adalah manusia sakti yang sangat berpengaruh dari sisi spiritual pada masa itu. Hilangannya pun tak diketahui hingga kini. Sampai akhirnya, dibuatlah rumah berukuran 2x3 m, kira-kira. Masyarakat meyakini mbah Jenthi akan kembali suatu hari nanti. Entah dalam keadaan berwujud atau tidak. Kami menduga sesajen yang dibawa mbah Suprat bersumber dari sana. Ruangan kecil yang terkunci. Memanglah bukan setiap hari, namun jawa banyak memiliki tanggal pasaran tertentu, makanya jangan heran jika mbah Suprat sering berseliweran dijalan rumahku dengan gundukan yang disungginya. Namun sudah tidak aku temui lagi pemandangan itu, semenjak majelis taklim dan PAI gencar didesaku. Disatu sisi aku bersyukur, disisi lain aku kehilangan. Kalaupun ada, sudah tidak lazim lagi. Sebenarnya aku berharap budaya itu tetap lestari. Namun jika tidak sejalan dengan akkidah dan perkembangan zaman maka biarlah aku membanggakan kenangan itu tanpa debat dan nasehat. π
.
.
#Rahayu
#INDAH_PUJI
Komentar