SEPASANG PEMULUNG
πΏ. π
Dini hari motorku bocor di salah satu desa kecamatan kebasen. Orang banyumas akrab dengan kecamatan itu. Aku mendorongnya beberapa meter saja, Alhamdulillah. Di tempat tambal ban sebelah pemakaman umum, berhenti sepasang pemulung kucal, memarkir kendaraannya didepanku. Awalnya aku setengah acuh dengan kedatangannya menaiki becak buluk. Becak terbuka berisi timbunan karung rongsok yang dijaga seorang lelaki. Suami wanita yang mengayuh becak tadi. Sepertinya wanita itu memiliki otot betis yang super kuat. Memboncengkan suami dan rongsoknya. Aku diam-diam terperangah, memandang mereka berjalan seperti katak baru bertemu hujan lagi. Riang dan bersemangat. Mereka bernafsu menaiki setapak menanjak di kanan pemakaman. Bisa di baca, rizqi bertumpukan disana. Mataku terus mengikutinya hingga lenyap. Sekejap aku menyempatkan bertanya pada penambal. "Pak, itu tadi suami istri?". Kataku sedikit tak sabar menunggunya tanggap.
"Ya. Suami istri. Mereka sudah biasa memulung disini. Rumahnya ada di kompleks rel kereta api. Stasiun kecil sebelah sana". Jawaban orang yang hafal akan pertanyaan lanjut lawan bicaranya.
Aku mengerti berapa jarak yang mereka tempuh agar sampai kemari. Bagiku cukup jauh untuk kecepatan becak ontel. Rumahnya berbilik bambu, kecil, beralas tanah, serba hidup minimalis, dan beberapa kecamuk keji lainnya yang aku putar dalam bayangan. Sontak aku tersadar setelah secara tidak langsung merendahkannya. Perbabandingannya adalah "mereka kuat" dan "aku lemah". Faktanya..
Mereka sudah berdamai dengan cemoohan cacian dan pandangan iba sekitarnya. Mereka sudah tidak memikirkan bagaimana cara membuat pencitraan-pencitraaan busuk dimata masyarakat. Sedang aku masih terganggu oleh persepsi manusia. Masih stres jika di cela. Masih melambung karena di puji. Bukan tergugah karena kewajiban, tapi resah karena omongan orang.
Apakah mereka adalah bentuk syukur yang sebenarnya? Sepasang angsa yang menepi bersama-sama, tanpa peduli air mengeruh di telaga. Sebuah cinta yang begitu tangguh menantang keadaan?
Bagiku, seseorang yang menyadari kekurangan diri, justru menjadi kelebihan tersendiri. Orang hebat tahu dimana kelemahan yang musti dikuatkan. Mereka besar sebab mengerti caranya tumbuh...
*~*
Beberapa puluh menit setelah sosok mereka tak juga muncul, motorku jadi. Batin-batinku cukup sampai disitu. Aku tak tahu harus berkata apa lagi dalam hati.
Ya. Itu hanya kecamuk yang berkeliaran di otakku. Aku harus segera berlalu. Membawa diri pada kenyataan dimana kewajibanku tak kunjung terpenuhi. Pada keluarga dan bangsa ini. Hah! Besar sekali. Aku ber-angan terlalu jauh kah?
Mungkin...
Tapi sebelum pergi, lewat perasaan ini, aku titip salam melalui semesta alam. Melalui pepohonan dan angin yang mungkin lebih tahu pada siapa aku berdo'a. Dari pada sesama manusia yang hanya ingin tahu, sebenarnya tak mau tahu.
Terimakasih dua merpati putih, aku berharap akan menyapamu kemuadian hari...
Semoga tanpa sengaja kita dipertemukan lagi.
Oleh Tuhan. Aamiin...
"Ya. Suami istri. Mereka sudah biasa memulung disini. Rumahnya ada di kompleks rel kereta api. Stasiun kecil sebelah sana". Jawaban orang yang hafal akan pertanyaan lanjut lawan bicaranya.
Aku mengerti berapa jarak yang mereka tempuh agar sampai kemari. Bagiku cukup jauh untuk kecepatan becak ontel. Rumahnya berbilik bambu, kecil, beralas tanah, serba hidup minimalis, dan beberapa kecamuk keji lainnya yang aku putar dalam bayangan. Sontak aku tersadar setelah secara tidak langsung merendahkannya. Perbabandingannya adalah "mereka kuat" dan "aku lemah". Faktanya..
Mereka sudah berdamai dengan cemoohan cacian dan pandangan iba sekitarnya. Mereka sudah tidak memikirkan bagaimana cara membuat pencitraan-pencitraaan busuk dimata masyarakat. Sedang aku masih terganggu oleh persepsi manusia. Masih stres jika di cela. Masih melambung karena di puji. Bukan tergugah karena kewajiban, tapi resah karena omongan orang.
Apakah mereka adalah bentuk syukur yang sebenarnya? Sepasang angsa yang menepi bersama-sama, tanpa peduli air mengeruh di telaga. Sebuah cinta yang begitu tangguh menantang keadaan?
Bagiku, seseorang yang menyadari kekurangan diri, justru menjadi kelebihan tersendiri. Orang hebat tahu dimana kelemahan yang musti dikuatkan. Mereka besar sebab mengerti caranya tumbuh...
*~*
Beberapa puluh menit setelah sosok mereka tak juga muncul, motorku jadi. Batin-batinku cukup sampai disitu. Aku tak tahu harus berkata apa lagi dalam hati.
Ya. Itu hanya kecamuk yang berkeliaran di otakku. Aku harus segera berlalu. Membawa diri pada kenyataan dimana kewajibanku tak kunjung terpenuhi. Pada keluarga dan bangsa ini. Hah! Besar sekali. Aku ber-angan terlalu jauh kah?
Mungkin...
Tapi sebelum pergi, lewat perasaan ini, aku titip salam melalui semesta alam. Melalui pepohonan dan angin yang mungkin lebih tahu pada siapa aku berdo'a. Dari pada sesama manusia yang hanya ingin tahu, sebenarnya tak mau tahu.
Terimakasih dua merpati putih, aku berharap akan menyapamu kemuadian hari...
Semoga tanpa sengaja kita dipertemukan lagi.
Oleh Tuhan. Aamiin...
Komentar