BONAMAR
Terdengar suara khas di bibir lelaki berkumis tebal, wajah tirus dan tubuh ceking. Lengkingan siul mengikuti tempo koplo dari soundsystem bututnya. Siulan Bonamar. Ya. Siulan merdu yang malah menyakiti telinga istrinya. Semakin lama semakin memanggil amarah wanita bernama Surkanti.
"Mau sampai kapan Abang begini?" Ketusnya mematikan musik. Asap kopi menguar segar dari cangkir yang dibawanya. Diletakkan kopi itu dengan ekspresi senewen.
"Sampai jengger dapat jodoh. Ya....ya? Kurrrr kurrr kurrrr. Makan yang banyak. Ayo". Bonamar memang tak tahu diri. Terlalu lama Anggur-angguran. Kecintaannya pada Jengger, ayam jantan itu membuatnya lupa tanggungan.
"Bapak......uang saku!". Pinta anaknya yang baru kelas Enam SD.
"Minta ibu mu sana!"
"Ibu....uang jajan" tangannya menengadah.
"Hiiiihhhhhhhhh....." Telapak tangan Surkanti mengepal. Entah gereget pada anak atau suaminya.
Surkanti yang hanya buruh pabrik memang agak berat menggorek puing-puing gaji yang sudah dibelikan beras dan sayur, mengingat hutang diwarung sebelah saja belum sepenuhnya lunas.
"Lama-lama aku masukkan dia ke penggorengan!" Ancam Surkanti mengguratkan telapak tangan ke lehernya. Melirik jengger. Geeeekkkkkkkk.....
Kemudian berangsur lenyap dari tatapan tajam Bonamar.
Sungguh! Bonamar memikirkan kata-kata istrinya itu. Sumpahnya terdengar begitu serius. Bonamar membayangkan saat dia bekerja nanti, begitu sampai dirumah dengan penatnya, Surkanti menyuguhkan ayam goreng dan tersenyum manis. "Ini bang, dimakan. Abang pasti cape kan?". Senyuman manis beracun Surkanti tak mampu membodohinya. Pasti firasat membawa Bonamar ke kandang Jengger dan....
"Ah tidak tidak! Perasaanku saja" Gerutunya setelah tersadar. " Aku tidak akan meninggalkanmu bersama ibu tiri kejam itu ngger". Tangan kirinya mengunci tubuh jengger, sementara tangan satunya memberi kelembutan bak seorang ibu menghangatkan bayinya. Jengger berkokok panjang.
Kokokokoooooooooookkkkkkkk.
****^****
Debum hujan masih menembus tanah keesokan hari. Hantamannya membentuk kubangan-kubangan kecil. Jatuhnya air itu memercikkan partikel-partikel. Pemandangan khas hujan deras tampak dibalik kaca jendela. Bonamar tentu tidak lupa memberi jengger campuran dedak dan nasi basi, apapun cuacanya. Namun entah mengapa ancaman Surkanti terus mengikutinya. Tak lama menyusul sekelebat bayangan tetangga yang cerai akibat bersuami pengangguran tulen. Istrinya menggugat dengan dasar tidak menafkahi selama tiga bulan berturut-turut. Apakah seorang pengangguran sangat dekat dengan kehilangan?.
Bonamar mulai merasa dilematis kali ini. Jika dia bekerja, jengger dalam bahaya. Jika tetap tinggal, maka istrinya juga mengancamnya. Akhirnya dia memutar akal.
"Kalau tetap disini aku tidak bisa menafkahi surkanti. Tapi kalau aku pergi bagaimana jika surkanti benar-benar ingin menyuguhkan ayam goreng untukku?". Entah apa yang berseliweran di fikirannya. Sejak rumah milik BUMN yang ditempati olehnya, di ambil kembali untuk pembangunan gedung secara paksa, sejak itu ijazahnya yang hanya tamat SMP musnah. Perlawanan membuat satpol pp naik darah. Bonamar dan Istrinya terpaksa pindah dari rumah kontrakan mereka. Beberapa bulan menumpang di tempat tetangga kompleks sebelah. Pantas lah pemilik kontrakan tak kunjung menarik lagi biaya sewa. Seolah-olah dia memberikan tempat tinggal secara cuma-cuma. Ternyata si pemilik kontrakan kabur setelah konfirmasi peringatan gusur BUMN yang telah disepakati. Sementara Bonamar hanya mendapat ampas desas desus tak jelas, yang hanya membuatnya sulit tertawa lepas. Lalu penghuni lain?
Ada yang bernasib sama, ada juga yang pindah diam-diam tanpa memberi berita. Sebelum membeli rumah mini ini, Bonamar menjabat sebagai mandor proyek. Saat ada borongan, dia menerima seripilan lebih dengan jumlah besar. Hasilnya, tempat yang dia huni sekarang ini. Kemudian jengger, ayam jantan yang dibelinya dari pasar hewan. Ayam milik pemain sabung unggulan yang sedang membutuhkan uang dalam pertaubatan. Nah, Surkanti. Istri setia yang rela bekerja demi anak dan suaminya. Surkanti. Wanita yang kini membuat kepala Bonamar berputar hingga membawanya hilang seharian.
****^****
Sudah gelap. Bonamar tak juga membuka pintu. Surkanti resah. Sebejat-bejat suaminya, selama dia tak mempermainkan hukum, Surkanti selalu mau menunggu. Tidak biasanya Bonamar seperti ini. Hujan selalu membuat Bonamar malas meninggalkan rumah. "Abang pasti keluar saat gerimis tadi sore". Suara jenggerpun tak terdengar. Surkanti juga enggan menengok hewan pemalas kawan suaminya itu. Paling-paling tidur seperti tuannya. Gumam Surkanti tak main-main. Karena dia tahu jengger bukan peliharaan yang kelaparan. Surkanti mengontrol kamar thole. Anak itu nyenyak.
Dikesepian ini, Surkanti menerawang jumlah hutang. Disana, disana, disana. Banyak. Meski tak seberapa besar. Dia yakin gaji bulanannya cukup untuk menutup hutang-hutangnya. Lega...
Dhog! Dhog! Dhog!.
"Ya Allah sabar.... Sabar...." Surkanti terbirit ke pintu. "Masya Allah Abang.....Abang mabuk?" katanya panik. Bonamar menggenggamkan buntalan uang ketangan istrinya. "Ini Sur, aku menang sabung ayam. Tidak sia-sia kan kita merawat jagoan selama ini?". Nafasnya beraroma alkohol. Surkanti bergidik ingin muntah. Sedikit mendorong tubuh suaminya.
"Ih. Sana lah bang. Aku tidak mau menerima uang haram ini!!". Bonamar diam. Memandang istrinya lekat-lekat. Ada gemuruh yang seolah datang. Ada hembusan yang menderu dari dalam hidung. Tubuhnya gemetar.
BRAGH!!!!
Bundalan uang dibantingnya ke meja kaca hingga retak. Mata Bonamar menyala bagai jilat api yang siap menyambar.
"Istri sialan!!" Tangannya bersiap membentuk tamparan. Namun tak jadi dia layangkan.
Thole terbangun. Dia ketakutan melihat bapaknya hilang kesadaran. Dipandanglah kedua orang tuanya dari sela gorden. Ibunya menunduk mengisak-isak. Air mata Surkanti tampak jatuh ketanah. Dada Surkanti tersumbat luka. Saat sedang menikmati kekejaman suaminya, Thole berjalan menyela keadaan. Anak itu mendekat mengusaikan pertengkaran.
"Ayo le kita pergi!"
Wanita itu menggenggam tangan anaknya.
"Aku sudah tidak tahan seperti ini terus bang. Aku akan kembali ke rumah emak"
Ucapan Surkanti malah memicu percikan amarah suami.
"Pergi?. PERGI sana!! Pergi ke rumah emakmu yang sempurna itu!"
Surkanti kembali memandang mata suaminya yang memerah. Sengatan alkohol masih saja terasa pekat. Sekarang wanita itu benar-benar hilang welas asih. Tanpa melihat lagi kondisi suaminya, Surkanti dan thole lepas kilat dari penglihatan Bonamar.
Malam ini pukul sebelas. Pintu rumah itu masih lebar, hingga tampak jelas halaman depan. Surkanti dan anaknya mengecil, mengecil, lalu kemudian menghilang..
Sementara Bonamar, berdo'a mereka muncul lagi....
****^****
Sudah tiga hari Bonamar demam. Semenjak pertikaian dua minggu yang lalu, dia jadi senang begadang ditemani miras. Uang hasil menang sabung ayam mulai menipis untuk beli makan sehari-hari. Rumahnya seperti gudang. Perabotnya seperti sampah berserakan. Kotoran-kotoran bercecer dimana-mana. Bonamar hanya mampu berjalan ke kamar mandi. Itupun jika tidak pusing. Kalau pusing, dia sudah menyiapkan ember di bawah dipan untuk kencing. Jengger ikut-ikutan sakit.
"Biar lah jengger sakit. Toh sehat pun ayam bodoh itu tak bisa berbuat apa-apa untukku, meski aku selalu berbuat banyak hal untuknya" perasaannya mulai tercuik. Angannya mengarah pada saat sebelum surkanti pergi.
"Kapan kalian pulang............"
Hati Bonamar runtuh jika ingat perlakuannya pada Surkanti dan Thole. Kini resah dan perasaan bersalah selalu menaunginya. Memang benar. Suami sulit hidup bila ditinggal istri. Tapi istri tetap tangguh meski jauh dari suami. Bahkan kecintaannya pada sesuatu secara berlebihan membuatnya susah sendiri.
Bonamar hanya bisa memandang langit-langit dengan mata basah. Kepergian anak istri rupanya menjadi kelemahan tersendiri bagi Bonamar. Bagaimana tidak? Sebenarnya dia hanya sedang tidak eling waktu itu. Tapi apa boleh buat, ketidak niatannya melukai perasaan Surkanti dan anaknya thole, berakibat fatal.
Ruangan lengang itu seolah merasa iba...
****^****
"Assalamu'alaikum........."
Suara thole menyentak kesendiriannya. Suara itu, suara anak yang berasal dari pembuahannya dengan Surti. Suara yang sempat pergi ke rumah mertua yang jauhnya berkilo-kilo meter. Suara yang jelas-jelas masuk kedalam tidurnya tiap malam. Suara anak lanang yang sejak kecil dipamerkannya pada siapa saja. Kini terdengar lagi.
"Wa'alaikumsalam....." Suara Bonamar serak dan dalam. Volumenya tipis sedikit patah-patah. Thole mencium tangan bapaknya yang panas. Bonamar memeluk dan mengecup berkali-kali kening bocah itu.
"Bang,,," Kata Surkati. Dia meraih tangan suaminya.
"Sur.... Maafkan aku"
"Sudah lah bang, abang sedang tidak waras waktu itu. Ayo makan dulu"
Surkanti membuka kresek hitam berisi rantang stanlis yang dibawanya. Ratang dua tumpuk, seporsi nasi dan ayam goreng.
"Kemarin jengger sekarat. Daripada mati, langsung aku sembelih saja bang"
Bonamar menepuk jidat.
"Ah. Dari pada mati. Abang mau, dia mati sia-sia? Anggap saja ayam kesayanganmu itu sudah menyatu dengan tubuhmu. Kan jadi milikmu selamanya...". Surkanti tertawa kecil melihat ekspresi mengkerut suaminya itu. Thole terkikik mendengar emaknya meledek bapaknya.
"Kemarin aku ingin mengecek rumah. Aku tidak sengaja melihat jengger kejang-kejang di kandang samping. Yasudah aku bawa saja. Aku masak dirumah emak. Kan jadi bisa bagi-bagi ke pakde dan tetangga sebelah" . Bonamar melepas nafasnya panjang-panjang sambil mengeluarkan decak kehilangan. Sekali lagi, apakah pengangguran sangat dekat dengan kehilangan? Terutama hilang semangat hidupnya, hilang rizqi yang musti jadi miliknya, hilang rasa tanggungjawab karena lebih ber leha-leha.
"Halah. Bilang saja kamu dendam kan sama aku?" Bonamar balik meledek istrinya.
Tawa menyembur keseluruh ruangan. Obat mujarap bagi seorang Bonamar telah datang.
Bonamar berangsur-angsur pulih. Rumah kembali rapih. Sudah tercium bau masakan lagi. Tempe goreng dan sambal terasi. Makanan yang selalu membuat perut keroncongan. Lantai juga sudah mengkilap. Semua normal seperti semula. Thole kisruh meminta uang saku dan menaiki sepeda dari dalam rumah. Bekas goresan stang di bingkai pintu semakin banyak karena kebiasaan thole.
Bonamar. Dia menyuruh Surkanti berhenti kerja karena mulai besok, dia akan ikut pak Sudar menggarap proyek perumahan tak jauh dari rumahnya. Namun Surkati tidak berdiam diri, dia ingin memelihara ayam sayur untuk dijualnya ke pasar jika besar dan beranak pinak. Atau menetaskan beberapa ayam kampung agar mengahasilkan telur lebih banyak.
Bagi mereka, keutuhan keluarga adalah semahal-mahalnya harta. Bahagia dalam sederhana merupakan kepemilikan yang sangat berharga.
****^****
Bonamar mulai merasa dilematis kali ini. Jika dia bekerja, jengger dalam bahaya. Jika tetap tinggal, maka istrinya juga mengancamnya. Akhirnya dia memutar akal.
"Kalau tetap disini aku tidak bisa menafkahi surkanti. Tapi kalau aku pergi bagaimana jika surkanti benar-benar ingin menyuguhkan ayam goreng untukku?". Entah apa yang berseliweran di fikirannya. Sejak rumah milik BUMN yang ditempati olehnya, di ambil kembali untuk pembangunan gedung secara paksa, sejak itu ijazahnya yang hanya tamat SMP musnah. Perlawanan membuat satpol pp naik darah. Bonamar dan Istrinya terpaksa pindah dari rumah kontrakan mereka. Beberapa bulan menumpang di tempat tetangga kompleks sebelah. Pantas lah pemilik kontrakan tak kunjung menarik lagi biaya sewa. Seolah-olah dia memberikan tempat tinggal secara cuma-cuma. Ternyata si pemilik kontrakan kabur setelah konfirmasi peringatan gusur BUMN yang telah disepakati. Sementara Bonamar hanya mendapat ampas desas desus tak jelas, yang hanya membuatnya sulit tertawa lepas. Lalu penghuni lain?
Ada yang bernasib sama, ada juga yang pindah diam-diam tanpa memberi berita. Sebelum membeli rumah mini ini, Bonamar menjabat sebagai mandor proyek. Saat ada borongan, dia menerima seripilan lebih dengan jumlah besar. Hasilnya, tempat yang dia huni sekarang ini. Kemudian jengger, ayam jantan yang dibelinya dari pasar hewan. Ayam milik pemain sabung unggulan yang sedang membutuhkan uang dalam pertaubatan. Nah, Surkanti. Istri setia yang rela bekerja demi anak dan suaminya. Surkanti. Wanita yang kini membuat kepala Bonamar berputar hingga membawanya hilang seharian.
****^****
Sudah gelap. Bonamar tak juga membuka pintu. Surkanti resah. Sebejat-bejat suaminya, selama dia tak mempermainkan hukum, Surkanti selalu mau menunggu. Tidak biasanya Bonamar seperti ini. Hujan selalu membuat Bonamar malas meninggalkan rumah. "Abang pasti keluar saat gerimis tadi sore". Suara jenggerpun tak terdengar. Surkanti juga enggan menengok hewan pemalas kawan suaminya itu. Paling-paling tidur seperti tuannya. Gumam Surkanti tak main-main. Karena dia tahu jengger bukan peliharaan yang kelaparan. Surkanti mengontrol kamar thole. Anak itu nyenyak.
Dikesepian ini, Surkanti menerawang jumlah hutang. Disana, disana, disana. Banyak. Meski tak seberapa besar. Dia yakin gaji bulanannya cukup untuk menutup hutang-hutangnya. Lega...
Dhog! Dhog! Dhog!.
"Ya Allah sabar.... Sabar...." Surkanti terbirit ke pintu. "Masya Allah Abang.....Abang mabuk?" katanya panik. Bonamar menggenggamkan buntalan uang ketangan istrinya. "Ini Sur, aku menang sabung ayam. Tidak sia-sia kan kita merawat jagoan selama ini?". Nafasnya beraroma alkohol. Surkanti bergidik ingin muntah. Sedikit mendorong tubuh suaminya.
"Ih. Sana lah bang. Aku tidak mau menerima uang haram ini!!". Bonamar diam. Memandang istrinya lekat-lekat. Ada gemuruh yang seolah datang. Ada hembusan yang menderu dari dalam hidung. Tubuhnya gemetar.
BRAGH!!!!
Bundalan uang dibantingnya ke meja kaca hingga retak. Mata Bonamar menyala bagai jilat api yang siap menyambar.
"Istri sialan!!" Tangannya bersiap membentuk tamparan. Namun tak jadi dia layangkan.
Thole terbangun. Dia ketakutan melihat bapaknya hilang kesadaran. Dipandanglah kedua orang tuanya dari sela gorden. Ibunya menunduk mengisak-isak. Air mata Surkanti tampak jatuh ketanah. Dada Surkanti tersumbat luka. Saat sedang menikmati kekejaman suaminya, Thole berjalan menyela keadaan. Anak itu mendekat mengusaikan pertengkaran.
"Ayo le kita pergi!"
Wanita itu menggenggam tangan anaknya.
"Aku sudah tidak tahan seperti ini terus bang. Aku akan kembali ke rumah emak"
Ucapan Surkanti malah memicu percikan amarah suami.
"Pergi?. PERGI sana!! Pergi ke rumah emakmu yang sempurna itu!"
Surkanti kembali memandang mata suaminya yang memerah. Sengatan alkohol masih saja terasa pekat. Sekarang wanita itu benar-benar hilang welas asih. Tanpa melihat lagi kondisi suaminya, Surkanti dan thole lepas kilat dari penglihatan Bonamar.
Malam ini pukul sebelas. Pintu rumah itu masih lebar, hingga tampak jelas halaman depan. Surkanti dan anaknya mengecil, mengecil, lalu kemudian menghilang..
Sementara Bonamar, berdo'a mereka muncul lagi....
****^****
Sudah tiga hari Bonamar demam. Semenjak pertikaian dua minggu yang lalu, dia jadi senang begadang ditemani miras. Uang hasil menang sabung ayam mulai menipis untuk beli makan sehari-hari. Rumahnya seperti gudang. Perabotnya seperti sampah berserakan. Kotoran-kotoran bercecer dimana-mana. Bonamar hanya mampu berjalan ke kamar mandi. Itupun jika tidak pusing. Kalau pusing, dia sudah menyiapkan ember di bawah dipan untuk kencing. Jengger ikut-ikutan sakit.
"Biar lah jengger sakit. Toh sehat pun ayam bodoh itu tak bisa berbuat apa-apa untukku, meski aku selalu berbuat banyak hal untuknya" perasaannya mulai tercuik. Angannya mengarah pada saat sebelum surkanti pergi.
"Kapan kalian pulang............"
Hati Bonamar runtuh jika ingat perlakuannya pada Surkanti dan Thole. Kini resah dan perasaan bersalah selalu menaunginya. Memang benar. Suami sulit hidup bila ditinggal istri. Tapi istri tetap tangguh meski jauh dari suami. Bahkan kecintaannya pada sesuatu secara berlebihan membuatnya susah sendiri.
Bonamar hanya bisa memandang langit-langit dengan mata basah. Kepergian anak istri rupanya menjadi kelemahan tersendiri bagi Bonamar. Bagaimana tidak? Sebenarnya dia hanya sedang tidak eling waktu itu. Tapi apa boleh buat, ketidak niatannya melukai perasaan Surkanti dan anaknya thole, berakibat fatal.
Ruangan lengang itu seolah merasa iba...
****^****
"Assalamu'alaikum........."
Suara thole menyentak kesendiriannya. Suara itu, suara anak yang berasal dari pembuahannya dengan Surti. Suara yang sempat pergi ke rumah mertua yang jauhnya berkilo-kilo meter. Suara yang jelas-jelas masuk kedalam tidurnya tiap malam. Suara anak lanang yang sejak kecil dipamerkannya pada siapa saja. Kini terdengar lagi.
"Wa'alaikumsalam....." Suara Bonamar serak dan dalam. Volumenya tipis sedikit patah-patah. Thole mencium tangan bapaknya yang panas. Bonamar memeluk dan mengecup berkali-kali kening bocah itu.
"Bang,,," Kata Surkati. Dia meraih tangan suaminya.
"Sur.... Maafkan aku"
"Sudah lah bang, abang sedang tidak waras waktu itu. Ayo makan dulu"
Surkanti membuka kresek hitam berisi rantang stanlis yang dibawanya. Ratang dua tumpuk, seporsi nasi dan ayam goreng.
"Kemarin jengger sekarat. Daripada mati, langsung aku sembelih saja bang"
Bonamar menepuk jidat.
"Ah. Dari pada mati. Abang mau, dia mati sia-sia? Anggap saja ayam kesayanganmu itu sudah menyatu dengan tubuhmu. Kan jadi milikmu selamanya...". Surkanti tertawa kecil melihat ekspresi mengkerut suaminya itu. Thole terkikik mendengar emaknya meledek bapaknya.
"Kemarin aku ingin mengecek rumah. Aku tidak sengaja melihat jengger kejang-kejang di kandang samping. Yasudah aku bawa saja. Aku masak dirumah emak. Kan jadi bisa bagi-bagi ke pakde dan tetangga sebelah" . Bonamar melepas nafasnya panjang-panjang sambil mengeluarkan decak kehilangan. Sekali lagi, apakah pengangguran sangat dekat dengan kehilangan? Terutama hilang semangat hidupnya, hilang rizqi yang musti jadi miliknya, hilang rasa tanggungjawab karena lebih ber leha-leha.
"Halah. Bilang saja kamu dendam kan sama aku?" Bonamar balik meledek istrinya.
Tawa menyembur keseluruh ruangan. Obat mujarap bagi seorang Bonamar telah datang.
Bonamar berangsur-angsur pulih. Rumah kembali rapih. Sudah tercium bau masakan lagi. Tempe goreng dan sambal terasi. Makanan yang selalu membuat perut keroncongan. Lantai juga sudah mengkilap. Semua normal seperti semula. Thole kisruh meminta uang saku dan menaiki sepeda dari dalam rumah. Bekas goresan stang di bingkai pintu semakin banyak karena kebiasaan thole.
Bonamar. Dia menyuruh Surkanti berhenti kerja karena mulai besok, dia akan ikut pak Sudar menggarap proyek perumahan tak jauh dari rumahnya. Namun Surkati tidak berdiam diri, dia ingin memelihara ayam sayur untuk dijualnya ke pasar jika besar dan beranak pinak. Atau menetaskan beberapa ayam kampung agar mengahasilkan telur lebih banyak.
Bagi mereka, keutuhan keluarga adalah semahal-mahalnya harta. Bahagia dalam sederhana merupakan kepemilikan yang sangat berharga.
****^****
Komentar