Aku sedang memandangi cincin bermata biru dijari manisku. Mata biru permintaanku. Aku kurang suka dengan sesuatu yang terlalu polos. Sudah lama aku mendamba cincin manis itu di hari penentuan dan sudah seminggu yang lalu cincin ini mengikat kesetiaanku. Bahagiaku seperti menyentuh bunga musim semi di negeri sakura. Indah sekali. Bisa dibilang hari-hariku merah jambu setelahnya. Aku sangat bersyukur hingga berjanji menjaga segalanya. Menjalin hubungan baik tanpa luka. Sebelumnya, aku lebih egois menyikapi hubungan kami. Namun sejak itu, aku banyak mengalah, mengerti, bahkan meminta maaf meski benar. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa kriteria pendamping terbaik ada padaku. Membuatnya bangga memilikiku adalah do'a sepanjang waktu. Tapi kenyataan belum berkehendak demikian.
πππππ
Sinar ultra violet menembus kaca ruang kantorku. Sudah jam delapan pagi lebih. Aku terlambat duapuluh menit rupanya. Sebagai admin di perusahaan swasta, seharusnya aku datang tepat waktu untuk mengecek data entry hingga jam istirahat siang. Di jam-jam inilah, cacing lapar orang-orang kantor sudah merengek minta makan. Kantin menjadi tempat yang selalu ampuh menghipnotis karyawan dengan masakan-masakannya. Bagaimana denganku yang malah memandangi foto di meja kerja? Foto saat aku dan dia menghabiskan malam di pantai Karimun jawa. Dengan back ground polkadot, frame pelangi dan Tedy bear di sudut atasnya. Perlu tahu! Kami berdebat karena frame ini. Selera kami jauh berbeda. Menurutnya corak bingkaiku norak. Menurutku tidak. Ini unik. Manis. Rame. Lupakan perdebatan frame. Sebab aku mendadak ingat akun Instagram miliknya. Baru kali ini feelingku memaksa untuk membuka privasi nya di medsos. Rasanya tidak pernah semenggebu ini. Oh iya. Sudah lama juga aku menutup akun instagramku karena bosan. Pekerjaan membuatku malas membuang waktu untuk itu.
Tapi tidak dengannya! Sebagai asdos di salah satu universitas negeri jakarta, dia lebih punya banyak waktu eksis di medsos. Sebetulnya aku sangat mempercayainya. Dan benar. Dia senang mengunggah foto kami berdua. Aku tersenyum sambil menyeruput teh setengah panas buatan OB. Banyak caption-captionnya bercerita tentang kita. Aku semakin yakin dengan keseriusannya. Mataku masih tenggelam di rentetan album instagramnya. Tak lama notifikasi pesan membuat penasaran. Nama-nama teman lelakinya terpampang disana. Tapi scroll bagian ini?. Andita. Nama lawan akun yang tertera disana. Sebentar! Andita? Tidak asing. Sebaiknya aku buka saja.
Dia : hai.. Apa kabar?
Andita : hai juga. Baik π
Dia : Sebentar lagi aku mau nikah ndit
Andita : Syukurlah. Semoga bahagia.
Dia. : Masih ingat ini?
Dia mengirim foto kenangannya. Persis seperti foto yang sedang aku pandangi. Posisi merebah bahu, dihiasi semburat sunset. Darahku bertambah suhu panasnya. Aku menutup foto kami dengan keras dan tak akan pernah membukanya lagi. Umpatku saat terserang emosi.
Dia : Masih ingat?
Andita : kamu juga masih nyimpen itu?
Dia : Enggak. Aku stalk IG kamu.
Andita : Aku cuma suka pemandangannya.
Dia : Profil itu cowo kamu?
Andita : Bukan. Aku masih jomblo. Dia sepupu aku π
Dia : Masih mau mengulang masa-masa dulu ndit?
Andita : Maksudnya?
Dia : Hanya bernostalgia aja. Bukan apa-apa.
Andita : Kapan kamu ada waktu?
Dia : Nanti aku kabari..
Tanpa balasan. Membuatku semakin penasaran. Meski chat ini baru berlangsung tiga hari yang lalu, bayang-bayang kecurigaan meledekku. Jangan-jangan mereka masih saling menyimpan persaan. Aku mulai tersentuh ketakutan. Meski bagiku masalalu sebagai senjata berperang dimasa depan, tapi khusus masalah ini, aku tidak menerima negosiasi. Sebab bagaimanapun kemaklumannya, jika menyangkut rasa terluka, maka aku tak bisa disuap!!. Aku menghargai hubungan baik. Dengan catatan tidak boleh ada perasaan lain yang tercabik. Seketika ada sesuatu yang menggumpal dikepalaku. Perasaan cemburu dan ragu. Bagaimana? Kondisiku sedang tidak stabil hari ini. Lepas pekerjaan selesai dan keluar kantor, aku menemui Handayani. Aku hampiri dia di rumah sepulang dari kantor. Seperti biasa, dia menyambutku dengan hangat. Perasaan kalut membuatku berbasa basi. Semua karena bingung saja ingin memulai dari mana. Lantas aku membukanya dengan sebuah pertanyaan.
"Han, kalo kamu jadi aku, apa yang bakal kamu lakuin saat lihat pasanganmu berhubungan dengan wanita lain?"
Dia tak langsung menjawab. Mungkin instingnya menangkap keseriusan nada bicaraku. Sampai harus membuatkan secangkir coklat panas untuk mencairkan ketegangan. Setelah lima menit meracik coklat, kini dia berada di sampingku.
"Ya no problem selama masih dalam batas kewajaran" tanggapan Handayani cukup meredakanku. Dia memang teman ngobrol yang asyik. Yang tidak mudah men judge langsung kesalahan orang lain sebelum memastikan kebenaran masalahnya.
"Kalo nggak wajar? "
"Tinggalkan!"
Aku mereguk coklat panas sambil memikirkan sesuatu. Sesuatu yang belum tentu seperti bayanganku. Tinggalkan? Aku sendiri tidak yakin bisa. Aku berikan ponsel ini pada Handayani agar dia membacanya.
"Terus cincin ini?" Aku pandang cicin bermata biru penuh kegelisahan.
Ponsel itu masih berada dalam genggamanya setelah baca.
"Kenapa? Kamu mau, ada seseorang jadi duri dirumah tanggamu nanti?. Kalo ikhlas, ya udah terima aja"
"Kalo kamu jadi aku?"
"Ummmm.... Aku kaya kamu. Awalnya pasti ragu. Kita nggak tahu kapan seseorang menyadari kesalahannya. Sebelum atau sesudah terlambat. Tapi saat ini aku bakal tegasin ke dia. Hubungan kita mau gimana kalo udah ada noda? Karena kita nggak bisa selalu maklumi alasan-alasan klise perselingkuhan. Nostalgia itu cuma jalan menuju hubungan lama terjalin kembali. Jadi kalo dia pikir ini masalah sepele ya... Nggak janji nglanjutin deh. Itu sih kalo aku ya..?"
Aku mengangguk penuh kepastian. Tak lama setelah gundukan cemas di hatiku terhancurkan, aku dan Handayani mencari topik lain. Tanpa terasa obrolan kita sampai jam delapan malam. Sebaiknya aku pamit dan meninggalkan rasa terimakasih bertubi-tubi pada Handayani.
πππππ
Aku mulai mempertimbangkan masukan nya. Aku sudah tahu tindakan selanjutnya. Tak lama, aku mengajak lelakiku kesebuah tempat di perkampungan sana. Tempat itu memang tidak spesial. Hanya lapangan bola penuh rumput liar. Namun itu adalah lapang masyarakat sekitar mengais nafkah. Segala jajanan kampung tersedia. Aku hanya senang dengan suasana malamnya. Melihat banyak anak-anak bermain bebas tanpa dipungut biaya karcis. Tidak seperti dikota yang sedikit-sedikit uang. Yah.. Uang ada di mana-mana seperti Tuhan. Ah sudahlah, semakin malam semakin ngaco saja. Kami berboncengan motor kesana. Kami berhenti tepat didepan penjual jagung bakar. Dia memang selalu tahu kesukaanku. Setelahnya, kami duduk diatas padang rumput liar.
"Gimana kabar Andita?" Aku memulainya sebab tak sabaran.
"Andita?"
"Iya. Andita"
Dia terdiam. Perlahan aura gugup tampak sekali diwajahnya.
"Ini Andita kan?" Aku menyerahkan handphone padanya.
"Oh ini... "
"Kamu masih berhubungan kan, sama dia?" Suaraku mulai parau. Lantas aku lepas cincin dan menggenggamkan padanya.
"Nih ambil !!!"
Tidak jadi! Aku tarik kembali kemudian melempar jauh-jauh ke semak rerumputan tanpa segan. Dengan sergap dia memburu cincin itu. Dia tampak panik. Sementara aku memandang sinis. Selang tiga menit, dia membawa kembali cincinku.
"Bentar dulu! Ada yang harus dijelasin. Kamu dengerin dulu"
"Mau nge-les apa lagi kamu?"
"Oke. Aku emang salah, sempet hubungin dia. Tapi masalah ketemuan itu aku batalin. Lewat line" Ganti dia yang memberiku bukti pengakuannya.
Dia : Ndit. Soal kemaren, lupain ya?
Andita : Soal rencana kita pergi bareng itu?
Dia : Iya
Andita : Kenapa? Tunanganmu marah?
Dia. : Nggak. Aku yang salah.
Andita : Salahnya?
Dia : Aku nggak mau nyakiti kalian.
Andita : Enggak, lagi. Kecuali kalo kita balikan. Kan cuma jalin sahabatan. Lagi pula nggak ada salahnya kan kita pergi bareng gitu?
Dia. : Akan salah nantinya
Andita. : Kamu sayang banget ya sama dia? Sampe nggak mau belok dikit. Lagian kita juga nggak ngapa2in kan?
Dia. : Iya aku sayang banget. Karena dia nggak pernah ngelakuin kesalahan ini ke aku.
πππππ
Seperti aliran air yang terlepas sumbatannya, aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Mataku berbinar, senyumku terpancar. Ada ungkapan sayang yang tak dapat aku sembunyikan. Dia menggenggam tanganku dan meraih jari manisku. Cincin ini. Mata birunya memantulkan sedikit sinaran. Bahagiaku tercipta lagi.
"Marah lagi dong... " Dia mencubit pipiku yang tidak terlalu cabi. Aku membalasnya dengan ekspresi mata juling.
"Jagung abis.. Jagung abis.. " Kodeku. Bernada seperti penjual air mineral.
"Ogah beli.. Ogah beli... " Sambungnya mengimbangi.
"Dasar pelit... Dasar pelit... "
"Bodo amat... Bodo amat... " Masih saja meledekku.
Aku merengut, meliriknya. Dia lantas menyodorkan pipi kearahku. Telunjuknya mengetuk-ngetuk pipi sawo matangnya. Tanda memintaku menyerahkan bibir ini.
Kami tertawa menikmati malam dengan hembusan udaranya.
Tak harus ke Karimun jawa, paris, atau negri sakura. Dilapangan kampung pun bisa menikmati indahnya malam tanpa syarat dan kata-kata.
Hubungan yang tidak disisipi kesalahpahaman dan kesalahan, sama dengan hubungan yang tak berani menghadapi resiko-resiko kedepan. Untuk dia, bukan tentang siapa yang menggoda lebih dulu, tapi siapa yang lebih dulu tersadar. Bahwa Hati bukanlah komidi putar yang bisa di tunggangi atau disudahi kapan saja. Tapi hati seperti loket karcis yang senantiasa harus dijaga agar tak kecolongan nantinya.
⚛⚛⚛π―⚛⚛⚛⚛⚛π―⚛⚛⚛
Komentar