Langsung ke konten utama

πŸ’ž Mimpi πŸ’•




          Aku tahu rasanya hutang budi. Akan ada orang yang tidak percaya wanita liar sepertiku terjerat hutang budi.  Hendar orangnya. Lelaki berutal yang  pekerjaannya membebaskan diri dari kerumitan.  Persis sepertiku. Apa yang bisa didapat darinya kecuali kesenangan? Banyak orang bilang dia tidak punya masa depan. Apa namanya jika bukan berutal?. Oh tapi tidak. Dia tidak seberutal suamiku. Aku tahu jelas sekejam apa suamiku memisahkan aku dengan keluarga dan kekasihku. Hendar. Seandainya, tulang belakang ayahku tidak patah, tidak akan dibawa ke Rumah Sakit biadab, milik orang-orang laknat itu.  Seandainya perjanjian ini tidak bermaterai, aku tidak akan tersentuh kekejian. Namun sudahlah! Aku rela dijual demi kesehatannya kembali. Ibuku tidak juga bisa berkutik. Semua hanya demi Ayah.
          Diwilayah ini aku sudah bukan yang dulu lagi. Bahkan jika Hendar tahu, dia akan sangat kecewa dengan niqab yang menyatir wajahku. Sekilas mengingat kejadian itu. Sekarang aku sedang diatas ranjang suamiku Ali bin Jakfar. Anak dari dokter bedah yang mengoperasi dan menanggung biaya Ayahku. Nama dokter itu Abu Jakfar. Aku ingat betul saat Ayah dilarikan ke RS Abdul Wahab dekat kota tinggalku. Satu-satunya Rumah Sakit yang bisa menolong Ayahku hingga kini. Awalnya Ayah jatuh dari gedung bangunan lantai dua. Untung saja banyak palang bambu pondasi. Membuatnya tidak langsung terbanting ke tanah. Kejadian ini membuat suasana menjadi tidak adil bagiku. Mimpi terbesarku hanyalah menikah dengan Hendar dan bahagia bersama keluarga kami. Hanya saja mimpi itu terbunuh oleh dokter Rumah Sakit dan anaknya.  Aku heran mengapa selalu kekuasaan yang bisa menenggelamkan harapan terbesar seseorang?? Sebenarnya, hanya sedikit waktu yang kami butuhkan. Tapi tetap saja kecepatan detik mengalahkan putaran menit. Keadaan, tempat, semua menjadi keparat saat itu juga.
Waktu itu, Hendar ada dengan ibuku diruang tunggu. Sementara aku, Abu Jakfar dan resepsionis diruang ICU. “Ayahmu harus dioperasi secepat mungkin”. Suara Abu Jakfar mencekat denyut nadiku.  Aku sudah menduga tentang ini. Pastinya biaya operasi setinggi langit. Intinya setinggi harapanku mendampingi Hendar. Aku benar-benar tidak mampu. Sumpah aku tidak mampu!. Tidak aku sangka. Kelemahanku dijadikan ajang politik oleh Abu Jakfar. Dia mencetus perjanjian pembebasan dengan syarat. Pertama, harus setuju pindah paham radikal. Sebab hanya yang sepaham saja lah yang mudah lolos dari ruang ICU dengan cepat. Kedua, siap menjadi isteri kedua putra kesayangannya. Terakhir dan paling menyakitkan, aku harus bergantung pada izin suamiku ketika aku rindu Ayah dan Ibuku. Bisa bayangkan betapa kacaunya aku pada hari itu?
Aku keluar membawa raut terpuruk. Aku tatap satu per satu wajah dua orang tersayangku. Dalam diri Ibu muncul bayangan Ayah sedang berrebut nyawa dengan Tuhan. Membuat nyaliku terpacu menerima perjanjian itu. Tapi untuk yang satu ini, Apa aku sanggup menukarnya dengan keselamatan Ayah?. Aku menjadi yakin tidak yakin. Gemetar rasanya menahan sesak didadaku. Tapi aku harus tampak lebih tegar dari biasanya. Aku harus tahu bahwa cinta tidak sekuat takdir. Aku harus faham apa balasan bagi orang yang melawan takdir. Atas nama rasa bersalah ini. Maafkan aku Hendar......

               πŸŒ΅πŸŒ΅πŸŒ΅πŸŒ΅
          Setiap hari aku mengalihkan kesedihan dengan belajar membaca  Al Qur’an, mahar pernikahanku. Setiap hari ba’da subuh, Ali menjejaliku dengan kumpulan Hadits. Katanya semua Hadits yang dia ajarkan shahih. Satu yang aku camkan dalam otak. “Orang yang bukan Muslim itu kafir, dan darah orang kafir halal bagi kita”. Aku tercengang. Mengingat salah seorang sahabat dekat berbeda keyakinan denganku. Tapi sejauh ini, kami baik-baik saja.  Dia sangat menjunjung tinggi arti persahabatan. Biar lah, diam jauh lebih aman.“Wajib menjalankan syari’at sesuai Al Qur’an dan Hadits. Selain itu haram hukumnya!!” Sejujurnya logikaku menolak seluruh pernyataan itu. Sebab sebodoh-bodohnya aku mengaji, guruku tidak sekeras kepala itu. Ah diam sajalah, daripada aku dijadikannya punch mitt alat tinju. Sebab Jika sedikit saja aku menawar perintahnya,tuduhan nusuz dan tamparan kerap dilayangkan padaku. Aku hanya bisa menyeka air mata sendirian di pojok ranjang, setelahnya. Kegetiranku belum berakhir sampai disini....
          Siang itu saat Ali sedang menyebarkan ilmunya, dari arah jendela muncul suara beberapa kali ketukan. Aku fikir cicak mengibaskan ekornya. Tetapi suara itu bukan kibasan ekor, melainkan jari manusia. Aku cepat-cepat membuka jendela itu. Akupun  sontak terkejut . Apa yang terjadi pada jantungku ini?. Di balik jendela itu adalah lelaki yang terpaksa aku khianati. Aku membiarkan air mataku menjatuhi punggungnya. Membiarkan berlama-lama dalam pelukan yang entah kapan terakhir kali aku rasakan. Namun kemudian aku  tersentak dari  dekapannya begitu saja. Kesadaran membawaku pada posisi dimana aku harus meyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi. “Tidak benar!” sanggahku. “Iya. Ini memang tidak benar.Aku hanya laki-laki tidak tahu diri yang menyelinap masuk kekamar wanita suci” kalimat itu terdengar sengit menusuk hati dan telingaku. Aku memaksanya mendengar apapun yang keluar dari mulutku diwaktu sesingkat ini. Aku menjelaskan semuanya. Semua dari nol. Lantas dia memelukku lagi. Rasanya aku tidak ingin melepasnya begitu saja. Dalam hal ini, aku menyimpan dosa besar kepada Ali. Mataku berbinar menahan air mata. Entah duka atau bahagia. Aku ingin pergi dengannya. Tapi perjanjian itu seperti tameng yang menjagaku dari Hendar..
          Tak lama suara hantaman terdengar dari arah pintu. Ali dan Abu Jakfar mendapati pertemuan kami. Hendar yang belum sempat melarikan diri, tertangkap bagai ikan dalam jaring nelayan. Tak berkutik sedikitpun. Tidak pula melawan.  Dia pasrah begitu saja. Abu Jakfar mengaraknya keluar. Semua orang diluar sana membelalak. Mereka menyerukan kalimat  Allahuakbar berkali-kali. Seruan itu terhenti ketika cambuk dikeluarkan dari tangan Abu Jakfar. Aku melihat pergelangan tangan Hendar di ikat. Tubuhnya di simpuhkan ke hadapan semua orang. Terutama di depan mata kepalaku. Wanita yang jelas-jelas memasukannya kedalam bui. Tetapi dia tidak pernah membenci. Membuatku semakin mencela diriku sendiri.  Terdengar gelegar suara Jakfar yang lantang. “Inilah pelaku percobaan penculikan dan pemerkosaan terhadap mahrom orang lain. Ingat! Wa laaa taqrobu zina, pelaku pelecehan harus dihukum rajam!!!”.  Hah dasar orang-orang munafik!
 Menyaksikan semua ini nyawaku serasa lepas dari jazad.  Air mataku jatuh tak tertolong. Jantungku berhenti seketika. Rasanya sakit sekali.  Saking sakitnya, hingga tidak terasa ada tangan menggenggam keras lenganku. Dialah Ali. Lelaki terkutuk perenggut kebahagiaan orang. Ancaman yang  dia muntahkan dari mulutnya “Jika kamu berhati-hati, semua tidak akan terjadi. Lain kali jangan ulangi lagi. Masih ingin melihatnya tersenyum bukan?” membuat wajahnya seperti babi hutan saja. Buruk dan menjijikan. Selamanya aku tidak akan merelakan hatiku tergenggam olehmu Ali...
 Sedang  dari sana, wajah Hendar lewat mata tajamnya  mengisyaratkan  padaku. “tenanglah, jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja”. Di amukan terakhir, dia tersenyum dalaaam sekali. Senyumnya membuatku selalu mengerti bahwa cintanya memang tak terbeli oleh diamond sekalipun. Dilepaslah dia dari pandanganku. Dibiarkannya jalan terseok-seok lalu enyah selangkah demi selangkah. Rasanya aku ingin mengejarnya meski telapak kakiku bernanah-nanah nantinya. Tapi bagaimana dengan perjanjian, dengan hutang budi, dengan nyawa Ayah, dengan semua yang membuatku muak.  Aih sial! Mengapa hidupku penuh dilema seperti ini..

               πŸŒ΅πŸŒ΅πŸŒ΅πŸŒ΅
          Masih dikamar gelapku dengan Ali. Ternyata kisahku berakhir disini. Kotak yang berisikan mimpi-mimpi dengan Hendar dijadikan kayu bakar oleh suamiku. Aku sudah tidak memiliki cerita cinta lagi. Baik dengan Hendar maupun Ali. Sebab, cintaku pada Hendar hanya mimpi. Dan sekeras apapun Ali memintaku mencintainya, tidak akan pernah aku beri. Tetap bersama Hendar hanya akan membuatnya mati. Ya. Aku telah menyelamatkan dua nyawa sekaligus. Hendar dan Ayah.Tapi betapa memalukannya aku yang tidak dapat membuat perasaan ini tetap hidup bahkan untuk cinta yang baru. Karena cinta yang baru itu bagai padang ranjau membetang sejauh mata memandang. Biarlah aku menanam pohon kebahagiaan palsu ini. Sebab aku pun tahu selamanya pohon itu takkan berbunga apalagi berbuah. Kalaupun aku masih ingin bermimpi, maka mimpi itu adalah “pergi tanpa kembali”. Beginikah caraku menyia-nyiakan diri dalam keterpurukan sejati??


         Entah rindu seperti apa hebatnya, yang bersarang didadaku. Aku menyelam bersama air mata dengan jenak yang lama. Hingga secara ajaib, aku dipertemukan dengan Hendar, Ayah dan Ibuku. Didepan mereka duduk seorang Abu Jakfar. Ali menghampiriku kemudian meraih tangan gemetaran ini. Dia menuntunku dengan senyuman ikhlas. Dia tidak bicara banyak kecuali “Aku ingin menebus semua dengan memberikan halal mu padanya”. Darah yang sebelumnya membentuk salju dalam tubuhku mencair begitu saja, saat pundakku dengan Hendar disentuhkan. Selendang burkat putih ini mengait diantara kami. Ijab qobul dilantunkan. “Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijaha bil mahril madz-kuur haalan” Kini suasananya menjadi semakin sakral. Dengan sangat ta’dzim aku menjatuhkan keharuan. Artinya mulai sekarang kebahagiaan menjemputku. Beribu-ribu aamiin aku ucapkan penuh kekhusyuan. Lagi-lagi tatapanku mengarah ke wajah lembut Ibu. Binar matanya tampak mensyukuri do’a yang baru saja terkabul. Tidak hanya wanita keramat itu. Lelaki berwajah tegas disampinya yang jelas Ayahku, menunjukkan gigi rapinya yang indah. Aku tahu dia bangga dengan anaknya yang mampu melampaui keadaan ini sendiri. Aku juga tahu mereka selalu menguatkan hari-hariku tanpa harus disampingku, hingga perjalanan hidupku berada dititik ini. Tetapi tidak lama, semuanya hilang secara tiba-tiba. Mataku terbuka. Oh aku hanya rindu. Lagi-lagi aku harus beradaptasi dengan ruang gelap yang membungkusku. Aku menjamahi setiap sudutnya. Semua tetap sama. Terobosan cahaya dicelah itu masih menusuk mataku. Tadi itu hanya dimensi yang berbeda. Dimensi yang mengatakan ‘aku bukan mimpi, hanya jiwamu yang sepi.....’   
                    
                                                                      
  
           


Komentar

Unknown mengatakan…
Mulai banyak kemajuan.. dari keseluruhan sudah menunjukan kemajuan yg pesat..

Selamat dan sukses ya hehhehe
Indah Puji mengatakan…
makasih banyak ya?. Tanpa pembaca yang cermat, tulisan ini tidak akan berjalan maju..kalaupun ada kemajuan, semua berkat saran dan masukan pembaca....
Chaiyyoooooo......

Postingan populer dari blog ini

Sajen

SESAJI ============================== Ditulisan kali ini, aku tidak ingin membahas makna filosofis sesajen dari pandangan culture jawa maupun mitologi ya, karena aku bukan ahlinya ahli, intinya inti😁. Terlebih jika membahas hukum syari'atnya, hummmm pasti lain ceritaku. Sekali lagi, ku tak sanggup!!!. Jelas lah aku belum mampu membuat riset dan menjadikannya sebuah essay. Jadi cukup menceritakan eksperimen sederhana saja. 😊 . Alhamdulillah aku hidup disebuah desa yang masih lekat dengan budaya kejawennya. Ritual sesaji juga sepertinya masih berlangsung sampai sekarang. Hanya tidak seintens dulu. Nah ini yang aku tunggu. Sa jen. Aku mengintai lewatnya seorang pria dari kaca ruang tamu. Ia bernama mbah Suprat penyunggi sesaji. Begitu terlihat semakin dekat, aku memasang posisi maraton bersama teman-teman sebayaku. Kami langsung menyerbu isi tampah milik lelaki paruh baya itu. Mbah Suprat menyambutnya dengan senyum lebar nan ramah, lalu menurunkan tampahnya sampai ping...

EMBAHKU, IBUKU

***************************************** Sedekat apa hubungan kalian dengan embah? - Sosok embah dihidupku hampir lebih utama dibanding orang tua. Orang tuaku jauh. Sesekali saja mereka menjenguk. Sedih? Pasti. Tapi orang tuaku lebih tahu apa yang harus dilakukannya. Semua demi kebaikan anak-anaknya. Aku bersyukur. Embah tak hanya seorang nenek, tapi seorang ibu. Tidurku tak lepas dari dongeng legendarisnya. Do'anya membaluriku setiap saat. Ia senang menunjukkan kedermawanannya dihadapanku. Aku tahu itu sebuah nasehat yang tersirat. Nasehat untuk tidak menjadi kikir.  Nasehat untuk terus berbagi apapun keadaannya. Ketika menerima tamu, embah mengajariku menyuguhkan secangkir teh dengan benar. Mencium tangan orang yang lebih tua, memandang wajah ketika diajak bicara. Aku tahu, kesopan santunan sedang diterapkan padaku. Etika dan akhlakku dibentuk dari kebiasaan kecil itu.  Embahku adalah Ilmu. Hingga saat embah berpulang kepadaNya, aku begitu kehilangan. Malah bercam...

🐾 CARI danTAU 🐾

                    CARI dan TAU  Membaca bagian dari mengingat tapi menelaah bagian dari lalai .  Bersyukurlah atas ketidak puasan. Berterimakasihlah pada kerakusan. Sebab berkat dua hal itu manusia menikmati sensasi kehausan. Orang yang tidak berfikir merasa cukup hanya membaca kata "Bacalah". Menyudahi dengan mengabaikannya. Namun manusia berakal akan mengembangkan makna kata tunggal itu. Dia akan mencari kemungkinan-kemungkinan dengan segala macam tafsiran. Tidak cukup. Dia akan melebarkan tafsiran-tafsiran itu ke berbagai persepsi. . Sekian..πŸ˜‹✌️