Aku tahu rasanya hutang budi. Akan ada
orang yang tidak percaya wanita liar sepertiku terjerat hutang budi. Hendar orangnya. Lelaki berutal yang pekerjaannya membebaskan diri dari kerumitan. Persis sepertiku. Apa yang bisa didapat
darinya kecuali kesenangan? Banyak orang bilang dia tidak punya masa depan. Apa
namanya jika bukan berutal?. Oh tapi tidak. Dia tidak seberutal suamiku. Aku
tahu jelas sekejam apa suamiku memisahkan aku dengan keluarga dan kekasihku.
Hendar. Seandainya, tulang belakang ayahku tidak patah, tidak akan dibawa ke
Rumah Sakit biadab, milik orang-orang laknat itu. Seandainya perjanjian ini tidak bermaterai,
aku tidak akan tersentuh kekejian. Namun sudahlah! Aku rela dijual demi
kesehatannya kembali. Ibuku tidak juga bisa berkutik. Semua hanya demi Ayah.
Diwilayah ini aku sudah bukan yang
dulu lagi. Bahkan jika Hendar tahu, dia akan sangat kecewa dengan niqab yang
menyatir wajahku. Sekilas mengingat kejadian itu. Sekarang aku sedang diatas
ranjang suamiku Ali bin Jakfar. Anak dari dokter bedah yang mengoperasi dan
menanggung biaya Ayahku. Nama dokter itu Abu Jakfar. Aku ingat betul saat Ayah
dilarikan ke RS Abdul Wahab dekat kota tinggalku. Satu-satunya Rumah Sakit yang
bisa menolong Ayahku hingga kini. Awalnya Ayah jatuh dari gedung bangunan
lantai dua. Untung saja banyak palang bambu pondasi. Membuatnya tidak langsung
terbanting ke tanah. Kejadian
ini membuat suasana menjadi tidak adil bagiku. Mimpi terbesarku hanyalah
menikah dengan Hendar dan bahagia bersama keluarga kami. Hanya saja mimpi itu
terbunuh oleh dokter Rumah Sakit dan anaknya. Aku heran mengapa selalu kekuasaan yang bisa
menenggelamkan harapan terbesar seseorang?? Sebenarnya, hanya sedikit waktu
yang kami butuhkan. Tapi tetap saja kecepatan detik mengalahkan putaran menit.
Keadaan, tempat, semua menjadi keparat saat itu juga.
Waktu itu, Hendar ada dengan ibuku diruang tunggu. Sementara
aku, Abu Jakfar dan resepsionis diruang ICU. “Ayahmu harus dioperasi secepat
mungkin”. Suara Abu Jakfar mencekat denyut nadiku. Aku sudah menduga tentang ini. Pastinya biaya
operasi setinggi langit. Intinya setinggi harapanku mendampingi Hendar. Aku
benar-benar tidak mampu. Sumpah aku tidak mampu!. Tidak aku sangka. Kelemahanku
dijadikan ajang politik oleh Abu Jakfar. Dia mencetus perjanjian pembebasan
dengan syarat. Pertama, harus setuju pindah paham radikal. Sebab hanya yang
sepaham saja lah yang mudah lolos dari ruang ICU dengan cepat. Kedua, siap
menjadi isteri kedua putra kesayangannya. Terakhir dan paling menyakitkan, aku
harus bergantung pada izin suamiku ketika aku rindu Ayah dan Ibuku. Bisa
bayangkan betapa kacaunya aku pada hari itu?
Aku keluar membawa raut terpuruk. Aku tatap satu per satu
wajah dua orang tersayangku. Dalam diri Ibu muncul bayangan Ayah sedang
berrebut nyawa dengan Tuhan. Membuat nyaliku terpacu menerima perjanjian itu.
Tapi untuk yang satu ini, Apa aku sanggup menukarnya dengan keselamatan Ayah?.
Aku menjadi yakin tidak yakin. Gemetar rasanya menahan sesak didadaku. Tapi aku
harus tampak lebih tegar dari biasanya. Aku harus tahu bahwa cinta tidak sekuat
takdir. Aku harus faham apa balasan bagi orang yang melawan takdir. Atas nama
rasa bersalah ini. Maafkan aku Hendar......
π΅π΅π΅π΅
Setiap hari aku mengalihkan kesedihan
dengan belajar membaca Al Qur’an, mahar
pernikahanku. Setiap hari ba’da subuh, Ali menjejaliku dengan kumpulan Hadits.
Katanya semua Hadits yang dia ajarkan shahih. Satu yang aku camkan dalam otak.
“Orang yang bukan Muslim itu kafir, dan darah orang kafir halal bagi kita”. Aku
tercengang. Mengingat salah seorang sahabat dekat berbeda keyakinan denganku.
Tapi sejauh ini, kami baik-baik saja.
Dia sangat menjunjung tinggi arti persahabatan. Biar lah, diam jauh
lebih aman.“Wajib menjalankan syari’at sesuai Al Qur’an dan Hadits. Selain itu
haram hukumnya!!” Sejujurnya logikaku menolak seluruh pernyataan itu. Sebab
sebodoh-bodohnya aku mengaji, guruku tidak sekeras kepala itu. Ah diam sajalah,
daripada aku dijadikannya punch mitt
alat tinju. Sebab Jika sedikit saja aku menawar perintahnya,tuduhan nusuz dan tamparan kerap dilayangkan
padaku. Aku hanya bisa menyeka air mata sendirian di pojok ranjang, setelahnya.
Kegetiranku belum berakhir sampai disini....
Siang itu saat Ali sedang menyebarkan ilmunya,
dari arah jendela muncul suara beberapa kali ketukan. Aku fikir cicak
mengibaskan ekornya. Tetapi suara itu bukan kibasan ekor, melainkan jari
manusia. Aku cepat-cepat membuka jendela itu. Akupun sontak terkejut . Apa yang terjadi pada
jantungku ini?. Di balik jendela itu adalah lelaki yang terpaksa aku khianati.
Aku membiarkan air mataku menjatuhi punggungnya. Membiarkan berlama-lama dalam pelukan
yang entah kapan terakhir kali aku rasakan. Namun kemudian aku tersentak dari dekapannya begitu saja. Kesadaran membawaku
pada posisi dimana aku harus meyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi. “Tidak
benar!” sanggahku. “Iya. Ini memang tidak benar.Aku hanya laki-laki tidak tahu
diri yang menyelinap masuk kekamar wanita suci” kalimat itu terdengar sengit
menusuk hati dan telingaku. Aku memaksanya mendengar apapun yang keluar dari
mulutku diwaktu sesingkat ini. Aku menjelaskan semuanya. Semua dari nol. Lantas
dia memelukku lagi. Rasanya aku tidak ingin melepasnya begitu saja. Dalam hal ini,
aku menyimpan dosa besar kepada Ali. Mataku berbinar menahan air mata. Entah
duka atau bahagia. Aku ingin pergi dengannya. Tapi perjanjian itu seperti
tameng yang menjagaku dari Hendar..
Tak lama suara
hantaman terdengar dari arah pintu. Ali dan Abu Jakfar mendapati pertemuan
kami. Hendar yang belum sempat melarikan diri, tertangkap bagai ikan dalam
jaring nelayan. Tak berkutik sedikitpun. Tidak pula melawan. Dia pasrah begitu saja. Abu Jakfar mengaraknya
keluar. Semua orang diluar sana membelalak. Mereka menyerukan kalimat Allahuakbar
berkali-kali. Seruan itu terhenti ketika cambuk dikeluarkan dari tangan Abu
Jakfar. Aku melihat pergelangan tangan Hendar di ikat. Tubuhnya di simpuhkan ke
hadapan semua orang. Terutama di depan mata kepalaku. Wanita yang jelas-jelas
memasukannya kedalam bui. Tetapi dia tidak pernah membenci. Membuatku semakin
mencela diriku sendiri. Terdengar gelegar
suara Jakfar yang lantang. “Inilah pelaku percobaan penculikan dan pemerkosaan
terhadap mahrom orang lain. Ingat! Wa
laaa taqrobu zina, pelaku pelecehan harus dihukum rajam!!!”. Hah dasar orang-orang munafik!
Menyaksikan semua ini
nyawaku serasa lepas dari jazad. Air mataku
jatuh tak tertolong. Jantungku berhenti seketika. Rasanya sakit sekali. Saking sakitnya, hingga tidak terasa ada tangan
menggenggam keras lenganku. Dialah Ali. Lelaki terkutuk perenggut kebahagiaan
orang. Ancaman yang dia muntahkan dari
mulutnya “Jika kamu berhati-hati, semua tidak akan terjadi. Lain kali jangan ulangi
lagi. Masih ingin melihatnya tersenyum bukan?” membuat wajahnya seperti babi
hutan saja. Buruk dan menjijikan. Selamanya aku tidak akan merelakan hatiku
tergenggam olehmu Ali...
Sedang dari sana, wajah Hendar lewat mata tajamnya mengisyaratkan padaku. “tenanglah, jangan khawatirkan aku.
Aku baik-baik saja”. Di amukan terakhir, dia tersenyum dalaaam sekali.
Senyumnya membuatku selalu mengerti bahwa cintanya memang tak terbeli oleh diamond
sekalipun. Dilepaslah dia dari pandanganku. Dibiarkannya jalan terseok-seok
lalu enyah selangkah demi selangkah. Rasanya aku ingin mengejarnya meski
telapak kakiku bernanah-nanah nantinya. Tapi bagaimana dengan perjanjian,
dengan hutang budi, dengan nyawa Ayah, dengan semua yang membuatku muak. Aih sial! Mengapa hidupku penuh dilema seperti
ini..
π΅π΅π΅π΅
Masih dikamar gelapku dengan Ali.
Ternyata kisahku berakhir disini. Kotak yang berisikan mimpi-mimpi dengan
Hendar dijadikan kayu bakar oleh suamiku. Aku sudah tidak memiliki cerita cinta
lagi. Baik dengan Hendar maupun Ali. Sebab, cintaku pada Hendar hanya mimpi. Dan
sekeras apapun Ali memintaku mencintainya, tidak akan pernah aku beri. Tetap
bersama Hendar hanya akan membuatnya mati. Ya. Aku telah menyelamatkan dua nyawa
sekaligus. Hendar dan Ayah.Tapi betapa memalukannya aku yang tidak dapat
membuat perasaan ini tetap hidup bahkan untuk cinta yang baru. Karena cinta
yang baru itu bagai padang ranjau membetang sejauh mata memandang. Biarlah aku
menanam pohon kebahagiaan palsu ini. Sebab aku pun tahu selamanya pohon itu
takkan berbunga apalagi berbuah. Kalaupun aku masih ingin bermimpi, maka mimpi
itu adalah “pergi tanpa kembali”. Beginikah caraku menyia-nyiakan diri dalam
keterpurukan sejati??
Entah
rindu seperti apa hebatnya, yang bersarang didadaku. Aku menyelam bersama air
mata dengan jenak yang lama. Hingga secara ajaib, aku dipertemukan dengan
Hendar, Ayah dan Ibuku. Didepan mereka duduk seorang Abu Jakfar. Ali
menghampiriku kemudian meraih tangan gemetaran ini. Dia menuntunku dengan
senyuman ikhlas. Dia tidak bicara banyak kecuali “Aku ingin menebus semua
dengan memberikan halal mu padanya”. Darah yang sebelumnya membentuk salju dalam
tubuhku mencair begitu saja, saat pundakku dengan Hendar disentuhkan. Selendang
burkat putih ini mengait diantara kami. Ijab qobul dilantunkan. “Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijaha bil mahril
madz-kuur haalan” Kini suasananya menjadi semakin sakral. Dengan sangat ta’dzim
aku menjatuhkan keharuan. Artinya mulai sekarang kebahagiaan menjemputku. Beribu-ribu
aamiin aku ucapkan penuh kekhusyuan. Lagi-lagi tatapanku mengarah ke wajah
lembut Ibu. Binar matanya tampak mensyukuri do’a yang baru saja terkabul. Tidak
hanya wanita keramat itu. Lelaki berwajah tegas disampinya yang jelas Ayahku,
menunjukkan gigi rapinya yang indah. Aku tahu dia bangga dengan anaknya yang
mampu melampaui keadaan ini sendiri. Aku juga tahu mereka selalu menguatkan hari-hariku
tanpa harus disampingku, hingga perjalanan hidupku berada dititik ini. Tetapi
tidak lama, semuanya hilang secara tiba-tiba. Mataku terbuka. Oh aku hanya
rindu. Lagi-lagi aku harus beradaptasi dengan ruang gelap yang membungkusku. Aku
menjamahi setiap sudutnya. Semua tetap sama. Terobosan cahaya dicelah itu masih
menusuk mataku. Tadi itu hanya dimensi yang berbeda. Dimensi yang mengatakan ‘aku
bukan mimpi, hanya jiwamu yang sepi.....’
Komentar
Selamat dan sukses ya hehhehe
Chaiyyoooooo......