DOKUMENTASI AKSI DAMAI
Allah
Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebagian
yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Maidah: 51)
Berawal dari perbedaan penafsiran
Ayat tersebut. Yang timbul oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) di kepulauan seribu dengan pidatonya yang saya kutip dari www.amsik.id (Analisis Masyarakat
Sipil untuk Konstitusi) kurang lebihnya begini
“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak bisa pilih saya
karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak
Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka,
dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu.
Program ini (pemberian modal bagi budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak Ibu
nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok”
Yang kemudian video kunjungan tersebut
diunggah oleh Buni Yani, seorang peneliti dari Universitas Leiden, Belanda. Dia
mengambil gelar Doktoral sekaligus sebagai peneliti di Faculty of Social and Behavioral Sciences, Institute of Cultural
Anthropology and Development Sociology, Leiden University. Dia mengunggah
video rekaman pidato itu di akun Facebooknya, berjudul ‘Penistaan terhadap
Agama’ dengan transkripsi pidato dan video Ahok (yang telah dipotong ’30 detik
dan menghapus kata ‘pakai’) Ia menuliskan ‘karena dibohongi Surat Al Maidah 51′
dan bukan “karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51’, sebagaimana aslinya. Pengunggahan
video itu lah akhirnya memperpanjang masalah yang kemudian diadakan pengusutan
atas kasus ini.
Lalu bagaimana dengan pendapat
seorang peneliti linguistik atas kalimat yang diucapkan Ahok tersebut? Berikut
saya mengutipnya dari KOMPASMETRO.COM,
Menurut Peneliti Bahasa dari Badan Bahasa Kemendikbud, Yeyen Maryani, kata-kata
Ahok ini tidak menjurus pada penistaan agama. Karena secara kaidah kebahasaan,
kata “dibohongi” merupakan kalimat pasif.
Jadi penjelasannya adalah dibohongi itu kan kalimat pasif. Sebetulnya
ada subjeknya yang dihilangkan. Di dalam konteks sebelumnya itu adalah bapak
ibu gitu ya. Bapak ibu dibohongin itu sebagai predikatnya, pakai surat itu
adalah keterangan. Artinya, ayat tersebut bisa saja dimanfaatkan beberapa oknum
sebagai alat hasut.
Unsur SARA membuat beberapa tokoh
andil dalam pernyataan tersebut. Salah satunya adalah Imam besar FPI (Front
Pembela Islam), Habib Riziq Syihab. Beliau bersama masa FPI mengadakan “aksi
damai” pada tanggal 4 November 2017 atau akasi 411, untuk menjebeloskan Ahok ke
ranah hukum. Habib Riziq sangat meyakini adanya unsur penistaan Agama dalam
pidato Ahok. Setelah dilaksanakannya aksi damai 4 November atau aksi 411, Habib
Riziq kembali melakukan aksinya bersama FPI pada tanggal 2 Desember atau aksi
212 dan Aksi Bela Islam III di jakarta. Ribuan massa kembali menuntut gubernur
non aktif (Ahok). Aksi tersebut merupakan peristiwa penuntutan kedua, yang pada
awalnya akan dilakukan pada tanggal 25 November, namun kemudian disepakati pada
tanggal 2 Desember. Aksi demai diawali dengan ketertiban dan ketenangan massa.
Pembersihan sisa-sisa aksi damai pun dilakukan massa FPI penuh rasa
tanggungjawab. Namun kericuhan mulai terjadi saat aparat membubarkan massa
karena melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Tidak terlewat pula para
makar politik memanfaatkan keadaan tersebut untuk memperkeruh suasana walaupun
penjagaannya cukup ketat. Hingga Presiden Jokowidodo mengecam aksi ini.
Awalnya, presiden Jokowi mengapresiasi aksi
demonstrasi damai para ulama FPI. Namun presiden mengecam aksi kekerasan yang
terjadi setelah aksi damai berakhir. Presiden menyampaikan pidato resminya usai
rapat terbatas dengan Menko Polhukan Wiranto, Panglima TNI Jendral Gatot
Nurmantyo, Kapolri Jendral Tito Karnavian, Mensesneg Pratiko, Kepala Staf
Kepresidenan Teten Masduki, Menag Lukman Saifuddin, Kepala BIN Jendral Budi
Gunawan, di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (5/11/2016). Dalam pidato tersebut
yang saya kutip dari detiknews.com bahwa presiden sangat mengapresiasi
aksi damai tersebut sebab antusias para kyai, habib, dan uztadz, dilakukan
secara tertib dan rapi. Tetapi beliau menyayangkan kerusuhan yang tejadi ba’da
Isya. Keadaan yang tidak kondusif tersebut diyakini oleh Presiden Jokowi telah
ditunggangi aktor-aktor politik. Padahal, sebelumnya presiden telah
memerintahkan wakilnya menerima perwakilan unjukrasa, dan dalam pertemuan itu
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa proses hukum terhadap Basuki Tjahja Purnama
akan dilakukan secara tegas, cepat, dan transparan. Sehingga beliau menghimbau
agar masyarakat tetap tenang dan menjaga lingkungan masing-masing agar tetap
aman dan damai.
Tak
hanya antara pelapor dan terdakwa yang panas dengan kasus ini. Tetapi
masyarakat umum dan sebagian Ulama’ tengah-tengah juga memiliki tanggapan
tersendiri dalam hal ini. Beliau tidak memihak atau menentang perselisihan yang
ada antara FPI dan Ahok. Seperti halnya KH Ma’ruf Amin cicit Ulama’ besar
Syeikh Nawawi Al-Bantani sekaligus ketua MUI, mlarang keras umat Islam
khususnya NU, untuk ikut dalam aksi damai/demo, karena hal ini kental dengan
politis. Tetapi juga tidak melarang hukum menindak lanjuti kasus yang menimpa
Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Sama halnya dengan KH Nuril Arifin Husein atau
yang kerap disapa Gus Nuril. Hanya saja beliau lebih keras dalam menyampaikan
pendapatnya. Beliau mengatakan “Kalau sudah ditersangkakan ya tunggu. Ini ada
agenda lain. FPI tidak menunjukan beriktikad baik untuk berbangsa dan
bernegara. Mereka melakukan tindakan membahayakan, membangunkan macan tidur”.
Baginya, seharusnya Indonesia bisa lebih sejuk. Apalagi Indonesia bukanlah
negara yang ber ideologi Islam melainkan Pancasila dan menjunjung tinggi Bineka
Tunggal Ika. Tetapi beliau juga menegaskan kepada Ahok untuk lebih menjaga
sikap, dan lebih berhati-hati dalam bertutur kata.
Lain
halnya dengan masyarakat Pro FPI dan cenderung lebih fanatik. Berikut saya cantumkan
beberapa aroma panas dari media sosial facebook. Banyak sekali postingan dan
meme berbau penghujatan kepada Ahok.
Mereka
tidak bosan menyuarakan kekecewaan terhadap pelaku penista Agama, menurut
mereka. Meskipun UU ITE sudah di cetuskan, namun masih saja propaganda mewarnai
keruhnya sosial media.
Sama
halnya dengan kubu Ahok yang juga kekeh dengan pembelaannya. Mereka mempunyai
asumsi tersendiri dalam menyikapi kontra yang terjadi pada pemimpin mereka. Tidak
jauh berbeda dengan postingan pro FPI yang berpihak pada Imam mereka.
Mereka sama kuat melindungi pihak
masing-masing. Hingga menimbulkan nuansa rasis didalamnya. Baik dari mayoritas
umat Islam maupun yang lainnya.
Hal
ini membawa dampak cukup kompleks. Menjadi akibat dari sebuah sebab. Banyak hal
besar terjadi hanya karena secarik kata-kata. Banyak otak bekerja keras hanya
untuk secuil masalah yang dianggap serius bagi mereka. Banyak juga masalah baru
mendadak timbul dari berbagai arah, karena memanfaatkan situasi. Keadaan
seperti ini sangat jelas menggambarkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi
didasari UU tentang hak kebebasan berpendapat.
Disini,
saya hanya mencatatnya sebagai sejarah. Menceritakan kembali berdasarkan
sumber-sumber yang ada. Tidak untuk mengkritisi atau memihak salah satu kubu.
Tetapi jika boleh saya ber opini, maka hanya satu kalimat yang bisa saya
sampaikan “Kita hidup pada era dimana saudara jadi tetangga” artinya, gambaran
perang saudara sedang terjadi lagi. Mengingatkan saya pada peristiwa perang
siffin dalam Hadits Rasulullah. Siffin, adalah nama daerah ditenggara kota
Raqqah Suriyah, sekitar 15 kilometer di tepian sungai Eufrat. Perang Siffin
terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib ra dengan Muawiyyah bin Abi
Sufyan-pendiri Dinasti Umayyah. Yaitu perang saudara pertama kali dalam
sejarah, pada zaman fitnah besar. Namun perlu saya klarifikasi lagi, bahwa
pernyataan ini bukanlah untuk mendukung salah satu pihak, hanya mencoba
mengulik kembali peristiwa yang seharusnya menjadi pengingat untuk terus
menjaga ke-Bineka Tunggal Ika an kita sebagai bangsa Indonesia, sekaligus ummat
Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan fikiran jernih dan banyak pertimbangan
dalam memutuskan atau melakukan sesuatu...
Komentar