Langsung ke konten utama

MENDIDIK SEBAGAI SENI BUKAN JUAL BELI





                BERIKAN HAK KAMI!!!
“kami sudah keluar puluhan juta lebih untuk mengenyam pendidikan strata satu. Tanah, sawah, rumah, kami lepaskan untuk bangsa ini. Orang tua kami rela mengenakan  satu pakaian saja demi anaknya bisa berangkat  setiap hari  kekampus untuk duduk mendengarkan teori dengan pakaian bagus dan rapi. Tidakkah kalian lihat orang tua kami heeeiiiiiii penguasa??  rakyatmu, berkorban untuk kekuasaanmu. Demi kamu bisa bersila disinggahsana istanamu. Dengan segala kemewahan yang kamu dapat, tidur diranjang empuk beralaskan permadani. Tidakkah kamu mengingat siapa yang memberimu gelimang permata?? .Kami. Guru honorer yang tak sedikitpun diberi penghidupan yang layak. Bahkan meminta jadi pegawaimu, pegawai negerimu saja tidak kau beri. Apalagi bersanding lurus denganmu?? Ingatkah kamu,  Siapa yang menjadikan Insinyur, dokter, bahkan presiden?. Kami... para guru yang tak berarti apapun untukmu.....”                                  
j
     Sejak ditetapkannya Hari Guru Nasional dari tahun 1994 dan keputusan presiden yaitu kepres No. 78, juga ditulis dalam UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menetapkan tanggal 25 November adalah hari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sejak itulah demo kenaikan gaji guru atau pengangkatan PNS guru honorer semakin mencuat. Menurut sejarah, hari guru sudah tercetus dua bulan setelah kemerdekaan RI yaitu tanggal 24-25 November 1945. Para guru membentuk kongres guru untuk mendukung kemerdekaan Indonesia di kota surakarta. Kongres tersebut adalah bentuk perjuangan para guru, baik yang masih aktif, pensiunan pejuang, atau pegawai guru, untuk menjunjung pendidikan ditengah-tengah penjajahan. Tentunya hal ini dapat menjadi wacana bagi cikal bakal penerus bangsa dalam mempertahankan pendidikan bahkan ditengah kesulitan atau krismon sekalipun..




            Bukankah pepatah jawa pernah mengatakan “guru kui digugu lan ditiru” tentunya hal ini pun mengandung makna lain bahwa “guru” adalah “glugu turu” guru sebagai “powot” perantara atau jembatan seorang murid mencapai tujuannya. Kita semua tahu bahwa glugu (pohon kelapa) salah satu pohon yang multi fungsi. Bisa dikatakan fungsinya tumbuh dari akar hingga pucuk janurnya. Begitu juga seorang pendidik haruslah menjadi manusia yang tak hanya bisa mentransfer ilmu saja, melainkan menjadi motivator dan fasilitator. Sudah sering sekali kita dengar di tv, medsos, atau secara langsung mungkin, profil seorang guru sebagai cerminan kualitas pendidikan. Kekerasan atau tindak asusila yang memunculkan maindset ketraumaan pada peserta didik bahkan orang tua. Atau guru-guru berprestasi yang mampu membawa peserta didiknya kejenjang internasional, menggali potensi hingga muncul kepercayaan diri murid akhirnya mampu membuat bangga Indonesia. Itu memang dua nilai yang berbeda dan harga yang berbeda pula. Namun bukan artian jual beli yang terhubung dengan materi. Sehingga seolah-olah perlakuan yang baik hanya untuk bayaran yang baik, atau sebaliknya. Tapi lebih kepada nilai dan harga moral yang disuguhkan sebagai asupan karakter peserta didik.
                                                       
            Pendidikan bukan jual beli layaknya brand sehingga muncul stigma “Rega Nggawa Rupa”. Katakan saja begini. Saat kita berfikir honor diatas segalanya, maka sudah tidak ada lagi kata “pendidikan paling utama” sebab sebetulnya jika dikupas lagi antara pengapdian atau pekerjaan itu seperti ayam dan telur. Jika pengabdian diartikan sebagai sebuah “keikhlasan”(ayam) maka pekerjaan bisa dibilang “kebutuhan”(telur). Mana yang harus didahulukan? Sementara manusia adalah makhluk ekonomi dengan segala kebutuhan hidup. Namun manusia juga makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain atau bermanfaat untuk orang banyak. Tidak dipungkiri bahwa pendidikan membutuhkan materi. Begitu juga materi berawal dari pendidikan. Jika keduanya difungsikan sebagai kebutuhan. Tetapi berbeda jika sudah membahas tentang pengabdian. Pengabdian identik dengan keikhlasan. Keihkhlasan biasanya jauh dari materi yang berkelimpahan. Lantas, mana yang lebih utama? Sejujurnya tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan ini.
            Namun, sebagai manusia yang diberi hati nurani dan akal budi pekerti yang sehat, pastinya dapat berfikir bersih. Meskipun semua tergantung masing-masing orang, juga tidak ada yang bisa disalahkan untuk hal ini. Tetapi sebagai guru akan lebih baik jika memprioritaskan pendidikan dan mengkesampingkan gaji/upah dari proses belajar mengajar. Jika kebutuhan bisa didapat selain dari honor pendidikan, mengapa tidak kita jadikan mengajar sebagai seni tentang keikhlasan dan kesabaran? Pohon yang berbuah keberhasilan berdasar ketulusan.
            Pernahkan mendengar atau melihat, bahkan mungkin kamu sebagai pelaku hebat itu? Seperti seorang guru tanpa gaji dari desa batang-batang laok, Kabupaten Sumeneb, Madura. Beliau dengan rela menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah Madrasah Ibtidaiyah Shibyan yang dekat tempat tinggalnya. Keterbatasan fisik tidak mengunci niatnya berbagi Ilmu. Keikhlasan terlihat padanya saat beliau berkata “Saya rela tidak dibayar, yang penting murid-murid saya tetap semangat untuk belajar” tidak ada nominal keluar dari lisannya, sebab beliau tak butuh balasan atas apa yang dilakukannya. Beliau layak disebut sebagai pahlawan. Kebetulan juga memiliki nama yang sama dengan pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin. Yaitu Hasanudin. Udin.  
            Tidak kalah menariknya dengan sosok yang satu ini. Yang saya kutip dari tribunjogja.com Mahakam Hulu, Kalimantan Timur, kampung Long Isun, bernama Ovianus Madang. Beliau hanya lulusan SMA Barong Tongkok, Kutai Barat, mengurus sekolah filial SD 04, dan empat tahun sudah rutinitas itu dijalani sebagai guru PPT di bangunan sekolah satu-satunya yang ada dikampung itu. Pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh beliau. “Yang penting anak-anak bisa sekolah dan memiliki semangat mengenyam pendidikan” lagi-lagi tidak ada financial yang terucap.  
                                                       
            Guru bukanlah “guru” yang sudah tidak membutuhkan lagi ilmu apapun dari siapapun. Saat  keangkuhan telah menguasai seorang guru, jadilah dia seperti “tong kosong nyaring bunyinya”. Hanya bisa bicara tentang kebiakan tetapi tidak sedikitpun kebaikan ada padanya. Sekedar mengingatkan pada tokoh yang satu ini. Ya. Beliau adalah Kyai besar sepuh Mbah Maimun Zubair dengan petuah-petuahnya dan salah satunya adalah untuk seorang guru/pendidik yaitu “Jadi guru ndak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika muridmu ndak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan Ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau ndak, serahkan saja pada Allah. Dido’akan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah”
 

                Beginilah profil seorang pahlawan tanpa tanda jasa seharusnya. Seperti halnya Bapak pendidikan KI Hajar Dewantoro dengan semboyannya “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Yang artinya, didepan kita memberi contoh, ditengah membangun prakarsa dan kerjasama, dibelakang memberi semangat dan dorongan. Bayangkan saja!! Jika seorang guru atau pendidik menuntut jasanya dibalas dengan materi. Keringatnya dibayar dengan penghargaan. Usahanya dinilai dengan nominal. Maka pendidik, pendidikan, dan Ilmu bukanlah sesuatu yang tinggi. Melainkan sepadan dengan harga barang-barang dipasaran. Itu sebabnya, saya menyimpan harapan besar untuk para guru se-Indonesia pada khususnya, agar menjadikan hari PGRI atau peringatan 24 November sebagai hari “Syukuran Para Guru Republik Indonesia” yang acaranya berisikan tentang _Bersatunya Guru Republik Indonesia dalam melakukan langkah kecil mengentaskan kebodohan dan mengedepankan makna pendidikan yang sesungguhnya_ terimakasih......

            Sebagai penutup, saya tidak bosan-bosannya mengatakan “saling memberi pengetahuan” bukan sedang “menggurui” atau menyalahi adab. Jika pembaca adalah seorang guru maka mari sama-sama rasakan dan resapi bagaimana bisa bangsa kita terkesan udik dimata sebagian dunia. Padahal banyak orang hebat menguasai Indonesia. Apakah karena hatinya tak mau bergerak? Atau tidak diberi kesempatan untuk bergerak?. Yang jelas, semua terjawab sudah oleh diri sendiri dan tetap dengan kerendahan hati...

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sajen

SESAJI ============================== Ditulisan kali ini, aku tidak ingin membahas makna filosofis sesajen dari pandangan culture jawa maupun mitologi ya, karena aku bukan ahlinya ahli, intinya inti😁. Terlebih jika membahas hukum syari'atnya, hummmm pasti lain ceritaku. Sekali lagi, ku tak sanggup!!!. Jelas lah aku belum mampu membuat riset dan menjadikannya sebuah essay. Jadi cukup menceritakan eksperimen sederhana saja. 😊 . Alhamdulillah aku hidup disebuah desa yang masih lekat dengan budaya kejawennya. Ritual sesaji juga sepertinya masih berlangsung sampai sekarang. Hanya tidak seintens dulu. Nah ini yang aku tunggu. Sa jen. Aku mengintai lewatnya seorang pria dari kaca ruang tamu. Ia bernama mbah Suprat penyunggi sesaji. Begitu terlihat semakin dekat, aku memasang posisi maraton bersama teman-teman sebayaku. Kami langsung menyerbu isi tampah milik lelaki paruh baya itu. Mbah Suprat menyambutnya dengan senyum lebar nan ramah, lalu menurunkan tampahnya sampai ping...

EMBAHKU, IBUKU

***************************************** Sedekat apa hubungan kalian dengan embah? - Sosok embah dihidupku hampir lebih utama dibanding orang tua. Orang tuaku jauh. Sesekali saja mereka menjenguk. Sedih? Pasti. Tapi orang tuaku lebih tahu apa yang harus dilakukannya. Semua demi kebaikan anak-anaknya. Aku bersyukur. Embah tak hanya seorang nenek, tapi seorang ibu. Tidurku tak lepas dari dongeng legendarisnya. Do'anya membaluriku setiap saat. Ia senang menunjukkan kedermawanannya dihadapanku. Aku tahu itu sebuah nasehat yang tersirat. Nasehat untuk tidak menjadi kikir.  Nasehat untuk terus berbagi apapun keadaannya. Ketika menerima tamu, embah mengajariku menyuguhkan secangkir teh dengan benar. Mencium tangan orang yang lebih tua, memandang wajah ketika diajak bicara. Aku tahu, kesopan santunan sedang diterapkan padaku. Etika dan akhlakku dibentuk dari kebiasaan kecil itu.  Embahku adalah Ilmu. Hingga saat embah berpulang kepadaNya, aku begitu kehilangan. Malah bercam...

🐾 CARI danTAU 🐾

                    CARI dan TAU  Membaca bagian dari mengingat tapi menelaah bagian dari lalai .  Bersyukurlah atas ketidak puasan. Berterimakasihlah pada kerakusan. Sebab berkat dua hal itu manusia menikmati sensasi kehausan. Orang yang tidak berfikir merasa cukup hanya membaca kata "Bacalah". Menyudahi dengan mengabaikannya. Namun manusia berakal akan mengembangkan makna kata tunggal itu. Dia akan mencari kemungkinan-kemungkinan dengan segala macam tafsiran. Tidak cukup. Dia akan melebarkan tafsiran-tafsiran itu ke berbagai persepsi. . Sekian..πŸ˜‹✌️